What Should I Do? (II)
Suatu hari ketika ku hendak pergi ke sekolah, aku sudah terlebih dahulu ribut dengan ibuku
hanya karena kebiasaan wajahku yang masam karena aku sedang memikirkan
masalahku disekolah. Aku dan ibu memang tidak pernah cocok. Ibu jarang sekali
mengerti keadaanku. Aku jarang sekali berkomunikasi dengan ibuku karena aku
seorang yang pendiam, tidak suka mengeluh dan tertutup. Tidak seperti Ibuku
yang sering mengeluh dan basa-basi. Itu yang aku tidak suka dari Ibuku. Ibuku
juga terkadang suka berbohong padaku, bahkan dengan yang lain. Aku tidak tahu
apa alasannya. Aku pernah menganggap Ibu berbohong karena aku tahu Ibu sering
berbohong dan aku sudah besar, aku bukanlah anak kecil yang mudah dibohongi.
Aku sering menuduh Ibu berbohong dan memperingatkan agar Ibu jangan suka
berbohong tetapi yang ada malah ribut dan aku disuruh ikut saja dengan Ayahku.
Aku pikir, secara terimplisit Ibu mengusirku. Katanya, Ia sudah tidak sanggup
lagi mengurusku. Tetapi tidak aku hiraukan. Aku tetap tinggal bersama Ibuku. Karena
aku berangkat dengan keadaan emosi, aku mengemudikan kendaraanku dengan
kecepatan menuju ke sekolah. Tidak peduli dijalan aku akan terjadi kecelakaan
atau tidak. Sialnya, di tengah perjalan aku harus menghadapi macet.
Sesampainya didepan sekolah, aku melihat bahwa pintu gerbang
akan segera ditutup. Aku langsung memacu kendaraanku dan berteriak pada Pak
satpam agar tidak ditutup dahulu. Hampir saja aku menabrak Pak satpam ketika
hendak menutup pintu gerbang. Setelah berhasil masuk lagsung ku parkirkan
kendaraanku dan menuju ke area dalam sekolah untuk absen sidik jari. Penampilanku
pada saat itu sangat berantakan. Lupa memakai ikat pinggang, dasi tidak rapi,
rambut pun berantakan. Ketika aku absen, ada petugas STP2K yang memperhatikanku
dan mengetahui bahwa aku tidak mengenakan ikat pinggang. Aku pun dihukum untuk
push-up sebanyak 15 kali. Aku pun melaksanakannya, tetapi belum genap 15 kali
ketika petugas STP2K tersebut sedang memperhatikan siswa yang lain aku kabur
menuju ke ruang kelasku.
Sesampainya diruang kelas, aku melihat guruku sudah mulai
mengajar. Aku mengetuk pintu dan meminta izin masuk. Aku pun di izinkan masuk
dan langsung disuruh mempresentasikan hasil pekerjaan rumahku. Aku lupa jika
ada PR, bahkan apa PR tersebut pun aku tidak tahu. Sungguh berantakan. Hidupku
berantakan, sekolahku berantakan, bahkan sampai penampilanku pun berantakan.
Aku langsung mengambil buku tugas dan buku catatanku dan aku langsung ingat apa
PRnya. Setelah aku membaca buku catatanku sejenak, dengan percaya diri aku
mempresentasikan hasil pekerjaan rumahku. Untung Pr tersebut mudah bagiku.
Prnya adalah membuat sebuah setting drama dipantai.
Dengan berpegang buku tugasku yang masih kosong, otak dan
kepercayaan diriku, aku maju ke depan kelas untuk mempresentasikan hasil
pekerjaanku. Aku disuruh membacakannya oleh gurukku, tetapi karena tidak ada
yang dapat aku baca, aku hanya dapat berpura-pura membaca, berfikir dan asal
berbicara untuk menjawab tugas yang guruku berikan. Dengan sedikit putus-putus
dalam menjawabnya. Karena sebenarnya diriku adalah sesosok orang yang humoris,
jadi aku sering menyeleweng dan meninggalkan bekas lucu. Tetapi tidak banyak
orang yang tahu terutama keluargaku.
Setelah ku mempresentasikan pekerjaanku, guruku memangilku
untuk mengecek hasil pekerjaanku dibuku tugasku dan diberinya nilai. Tadinya
aku tidak mau menuruti perintahnya, tetapi dengan terpaksa, dengan ragu aku
menghampirinya dan menyerahkan buku tugasku. Persis dengan apa yang ku tebak.
Guruku kaget melihat buku tugasku. Dibolak-baliknya kertas kosong yang terdapat
pada buku tugasku tersebut.
“mana hasil pekerjaanmu yang kamu persentasikan Tantri?”
tanyanya
“ada disitu kan pak?” jawabku agak ragu sambil menujuk buku
tugasku
“mana? Tidak ada? Kamu membohongi saya ya?”
“maaf pak..”
“oh.. pintar ya kamu. Bisa mengerjakan tugas secara langsung
dengan hanya membaca tugas dan latihan kemarin secara sekejap. Cerdas.”
“te..ter.. terimakasih pak” jawabku terbata-bata
“tetapi tidak begini caranya! Kamu membohongi saya!” bentaknya
“a..am..ampun pak” jawabku ketakutan
“kembali ke tempat dudukmu!” perintahnya
“baik pak” jawabku
Lalu aku kembali ke bangkuku dan
duduk. Aku melihat semua teman-temanku
melihatku dengan berbagai tatapan. Ada yang terlihat melihatku dengan kasihan,
kecewa, bahkan melihatku dengan pandangan yang tidak enak dan menganggapku anak
yang buruk. Ini membuatku bertambah tidak betah dengan kelasku. Apalagi jika
mereka sedang bergosip. Walaupun tidak membicarkanku, tetapi menurutku mereka
terlalu mengurusi kehidupan orang lain. Aku tidak habis pikir mengapa mereka
seperti itu. Menurutku, biarlah orang seperti itu untuk apa kita membicarakan
kejelekan dan kehidupannya? Tidak guna.