Senin, 15 Juli 2013

Hai, apa kabar?

Kemarin, Minggu, 14 Juli 2013 saya tes Ujian Mandiri DIII Universitas Diponegoro. Adakah dari kalian yang ikutan UM DIII Undip juga? Ambil prodi apa? Kalau saya sih pilihan pertama Instrumentasi dan Elektronika, kemudian pilihan kedua adalah Teknik Elektro. Sama kah? Haik, semoga kita bisa diterima yah! :D

Mengapa saya menulis ini, karena tiba-tiba saya berpikir keadaan saya sekarang. Ditengah-tengah ketika saya sedang belajar untuk menghadapi UM, saya istirahat sejenak dan terlintas sesuatu. Entah mengapa saya tiba-tiba memikirkan keadaan saya seperti di anime. Sungguh. Karena sedang suka-sukanya dan sering nonton anime akhir-akhir ini kali ya? Jadi terbawa ke dunia anime gitu. Kemudian ketemu Hiruma-san, Yoshi-san, Eita-san, Akihisa-kun, Yuuji-kun, dkk. Haha

Jadi gini, saya kan ingin masuk Undip tuh, dengan keadaan saya yang hari minggu mau tes itu, saya berpikiran seperti ini kemarin malam.

Saya seperti sedang terikat di sebuah tembok. Iya, sebuah tembok. Aneh kan? Masa terikat di tembok? Ya anggap aja saya di plester pakai lakban gitu, jadi nempel di tembok gitu deh. Nah, itu yang saya anggap keadaan saya yang sedang belajar ini. Saya melihat di depan saya, terdapat sebuah jas alamamanter yang tersangkut pada sebuah ranting pohon dan tertiup oleh angin sedang melambai-lambai ke arah saya. Saya terikat di tembok sambil berusaha melepaskan diri untuk meraih alamamanter biru khas Undip yang sangat saya inginkan itu. Woh, ekspresi macam tokoh anime yang ingin melepaskan diri dari ikatan gitu deh pokoknya.

Kemudian tiba-tiba saya dapat melepaskan diri dan langsung berlari kencang untuk meraih jas almamanter Undip tersebut. Nah, saya anggap itu ketika saya sedang melaksanakan tes UM di Undip.

Kemudian semakin lama semakin lambat saya berlari. Lho? Kenapa semakin lambat? Yaiyalah, kalau kencang terus selain capek, entar malah kelewatan tuh almamanternya. Sambil mengulurkan tangan kanan saya berlari mendekati alamanter tersebut. Nah ini, saya anggap ketika saya sedang menunggu pengumuman UM Undip pada tanggal 18 Juli 2013. Cepat yah?

Lalu finalnya, ini ada dua. Kalau saya diterima di Undip yang saya bayangkan seperti ini, saya dapat meraih almamanter Undip tersebut, memeluknya dan penuh perasaan, dan membacakan surat Al-Fatihah, Shalawat, dan ayat kursi. Iya, entah mengapa justru itu yang saya bacakan ketika saya memeluk almamanter tersebut. Religious abis! Tetapi nih ya, kalau memang beneran saya diterima, saya bakalan melakukan seperti itu. Serius. Nggak salah kan? Kemudian saya mulai mengenakannya dan terlihat dari belakang, saya berkata “saya anak Undip” dengan penuh kebanggaan kawan-kawan! Semoga itu dapat terjadi. Amin!

Tetapi, apabila saya tidak diterima (haih -__-), yang saya bayangkan adalah setelah berhari-berhari berlari kencang untuk meraih almamanter (menunggu pengumuman), ketika saya memperlambat langkah kaki saya ketika berlari, dan tangan kanan saya sudah menyentuh almamanter tersebut tiba-tiba almamanter tersebut terbang tertiup oleh angin dan saya tertarik kebelakang menuju kegelapan sambil mengulurkan kedua tangan saya dan berteriak “tidaaakkk!!!” sambil menutup mata. Dan ketika saya membuka mata, saya terikat kembali di tembok sambil meneteskan air mata. Sedih memang.

Lalu muncullah wajah-wajah yang tak asing bagi saya. Wajah-wajah keluarga dan teman-teman yang sudah diterima di PTN. Ada wajah papa yang sedih dan berkata “papa kecewa sama kamu”, kemudian mama yang berkata “kamu gimana kok berulang kali tidak diterima?”, kakak yang berkata “gimana? Kok nggak lolos lagi?”, teman-teman yang tertawa dan berkata “haha, dasar bodoh! Berulang kali tidak lolos” , “kasihan deh kamu belum dapat PTN” , “selamat datang pengangguran” , “masuk swasta saja sana” , dan lain-lain. 

Sungguh, ini beban, ini menyebalkan. Wajah-wajah mereka berputar-putar mengelilingi saya yang sedang sedih terikat kembali. Saya hanya menundukkan kepala dan meneteskan air mata. Saya hanya berkata dalam hati “mengapa seperti ini? mengapa beban ini tidak kunjung pergi dan mendatangkan kebahagiaan? Aku sangat ingin masuk PTN. Berulang kali aku tidak lolos PTN dan mengahabiskan banyak uang tetapi aku korbankan hanya sia-sia. Apakah Allah tidak mendengar doa saya? Apakah Allah tidak melihat usaha saya selama ini? Tidak, aku yakin Allah mendengar dan mengetahuinya. Allah pasti mempunyai rencana lain yang lebih baik untuk saya. Saya selalu berpikir poisitif, saya selalu yakin dan percaya itu. Tetapi, apakah akan tetap seperti ini? Berulang kali gagal untuk meraih PTN dan hanya mendapatkan PTS? Mengapa? Apakah saya tidak pantas? Atau memang takdir? Bukankah takdir ini bisa diubah dengan usaha dan doa? Atau memang mutlak? Tidak mungkin.

Pandangan mata saya pun hanya kosong ke arah bawah. Mata saya mulai berkaca-kaca. (terdengar lagu Ost. Gunslinger Girl – Woke From Dreaming). Air mata pun mulai menetes ke lantai. Saya berkata “maafkan saya, walaupun saya berulang kali gagal, tetapi saya masih sangat pantas untuk terus mencoba meraih apa yang saya ingin selama ini”. Saya mengangkat wajah ke depan dan berkata “saya pasti berhasil nanti, percayalah” dengan ekspresi wajah penuh keyakinan dan kepercaya dirian. Kemudian wajah-wajah yang mengganggu saya tersebut mulai pecah satu-persatu dan menghilang meninggalkan saya sendiri.
Pikiran saya mulai kosong dan mulai menjauh, jauh, jauh, saya yang sedang terikat mulai bertambah kecil, kecil, kecil dan hilang. Hitam, gelap.

Saya pun mulai sadar dan dan membuka mata. Saya melihat ke arah laptop dan melihat latihan soal Ujian Mandiri. Karena penglihatan saya sudah mulai tidak fokus, jadi saya memutuskan untuk mematikan laptop dan tidur sambil memeluk buku catatan saya. FYI, selama 3 hari berturut-turut saya selalu tidur bersama buku-buku, kertas-kertas, alat tulis, tas, laptop, ponsel-ponsel, headphone, earphone, dan bantal-guling-selimut yang tak beraturan. Namun, aku menikmatinya.

Salam sukses,

Dewi S Pratiwi

dsumap . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates