Hai, apa kabar?
Kemarin, Minggu, 14 Juli 2013 saya tes Ujian Mandiri DIII
Universitas Diponegoro. Adakah dari kalian yang ikutan UM DIII Undip juga?
Ambil prodi apa? Kalau saya sih pilihan pertama Instrumentasi dan Elektronika,
kemudian pilihan kedua adalah Teknik Elektro. Sama kah? Haik, semoga kita bisa
diterima yah! :D
Mengapa saya menulis ini, karena tiba-tiba saya berpikir
keadaan saya sekarang. Ditengah-tengah ketika saya sedang belajar untuk
menghadapi UM, saya istirahat sejenak dan terlintas sesuatu. Entah mengapa saya
tiba-tiba memikirkan keadaan saya seperti di anime. Sungguh. Karena sedang
suka-sukanya dan sering nonton anime akhir-akhir ini kali ya? Jadi terbawa ke
dunia anime gitu. Kemudian ketemu Hiruma-san, Yoshi-san, Eita-san, Akihisa-kun,
Yuuji-kun, dkk. Haha
Jadi gini, saya kan ingin masuk Undip tuh, dengan keadaan
saya yang hari minggu mau tes itu, saya berpikiran seperti ini kemarin malam.
Saya seperti sedang terikat di sebuah tembok. Iya, sebuah tembok.
Aneh kan? Masa terikat di tembok? Ya anggap aja saya di plester pakai lakban
gitu, jadi nempel di tembok gitu deh. Nah, itu yang saya anggap keadaan saya
yang sedang belajar ini. Saya melihat di depan saya, terdapat sebuah jas
alamamanter yang tersangkut pada sebuah ranting pohon dan tertiup oleh angin
sedang melambai-lambai ke arah saya. Saya terikat di tembok sambil berusaha
melepaskan diri untuk meraih alamamanter biru khas Undip yang sangat saya
inginkan itu. Woh, ekspresi macam tokoh anime yang ingin melepaskan diri dari
ikatan gitu deh pokoknya.
Kemudian tiba-tiba saya dapat melepaskan diri dan langsung
berlari kencang untuk meraih jas almamanter Undip tersebut. Nah, saya anggap
itu ketika saya sedang melaksanakan tes UM di Undip.
Kemudian semakin lama semakin lambat saya berlari. Lho?
Kenapa semakin lambat? Yaiyalah, kalau kencang terus selain capek, entar malah
kelewatan tuh almamanternya. Sambil mengulurkan tangan kanan saya berlari
mendekati alamanter tersebut. Nah ini, saya anggap ketika saya sedang menunggu
pengumuman UM Undip pada tanggal 18 Juli 2013. Cepat yah?
Lalu finalnya, ini ada dua. Kalau saya diterima di Undip
yang saya bayangkan seperti ini, saya dapat meraih almamanter Undip tersebut,
memeluknya dan penuh perasaan, dan membacakan surat Al-Fatihah, Shalawat, dan
ayat kursi. Iya, entah mengapa justru itu yang saya bacakan ketika saya memeluk
almamanter tersebut. Religious abis! Tetapi nih ya, kalau memang beneran saya
diterima, saya bakalan melakukan seperti itu. Serius. Nggak salah kan? Kemudian
saya mulai mengenakannya dan terlihat dari belakang, saya berkata “saya anak
Undip” dengan penuh kebanggaan kawan-kawan! Semoga itu dapat terjadi. Amin!
Tetapi, apabila saya tidak diterima (haih -__-), yang saya
bayangkan adalah setelah berhari-berhari berlari kencang untuk meraih
almamanter (menunggu pengumuman), ketika saya memperlambat langkah kaki saya
ketika berlari, dan tangan kanan saya sudah menyentuh almamanter tersebut
tiba-tiba almamanter tersebut terbang tertiup oleh angin dan saya tertarik
kebelakang menuju kegelapan sambil mengulurkan kedua tangan saya dan berteriak
“tidaaakkk!!!” sambil menutup mata. Dan ketika saya membuka mata, saya terikat
kembali di tembok sambil meneteskan air mata. Sedih memang.
Lalu muncullah wajah-wajah yang tak asing bagi saya.
Wajah-wajah keluarga dan teman-teman yang sudah diterima di PTN. Ada wajah papa
yang sedih dan berkata “papa kecewa sama kamu”, kemudian mama yang berkata
“kamu gimana kok berulang kali tidak diterima?”, kakak yang berkata “gimana?
Kok nggak lolos lagi?”, teman-teman yang tertawa dan berkata “haha, dasar
bodoh! Berulang kali tidak lolos” , “kasihan deh kamu belum dapat PTN” ,
“selamat datang pengangguran” , “masuk swasta saja sana” , dan lain-lain.
Sungguh, ini beban, ini menyebalkan. Wajah-wajah mereka berputar-putar
mengelilingi saya yang sedang sedih terikat kembali. Saya hanya menundukkan
kepala dan meneteskan air mata. Saya hanya berkata dalam hati “mengapa seperti
ini? mengapa beban ini tidak kunjung pergi dan mendatangkan kebahagiaan? Aku
sangat ingin masuk PTN. Berulang kali aku tidak lolos PTN dan mengahabiskan
banyak uang tetapi aku korbankan hanya sia-sia. Apakah Allah tidak mendengar
doa saya? Apakah Allah tidak melihat usaha saya selama ini? Tidak, aku yakin
Allah mendengar dan mengetahuinya. Allah pasti mempunyai rencana lain yang
lebih baik untuk saya. Saya selalu berpikir poisitif, saya selalu yakin dan
percaya itu. Tetapi, apakah akan tetap seperti ini? Berulang kali gagal untuk
meraih PTN dan hanya mendapatkan PTS? Mengapa? Apakah saya tidak pantas? Atau
memang takdir? Bukankah takdir ini bisa diubah dengan usaha dan doa? Atau
memang mutlak? Tidak mungkin.
Pandangan mata saya pun hanya kosong ke arah bawah. Mata
saya mulai berkaca-kaca. (terdengar lagu Ost. Gunslinger Girl – Woke From
Dreaming). Air mata pun mulai menetes ke lantai. Saya berkata “maafkan saya,
walaupun saya berulang kali gagal, tetapi saya masih sangat pantas untuk terus
mencoba meraih apa yang saya ingin selama ini”. Saya mengangkat wajah ke depan
dan berkata “saya pasti berhasil nanti, percayalah” dengan ekspresi wajah penuh
keyakinan dan kepercaya dirian. Kemudian wajah-wajah yang mengganggu saya
tersebut mulai pecah satu-persatu dan menghilang meninggalkan saya sendiri.
Pikiran saya mulai kosong dan mulai menjauh, jauh, jauh,
saya yang sedang terikat mulai bertambah kecil, kecil, kecil dan hilang. Hitam,
gelap.
Saya pun mulai sadar dan dan membuka mata. Saya melihat ke
arah laptop dan melihat latihan soal Ujian Mandiri. Karena penglihatan saya sudah
mulai tidak fokus, jadi saya memutuskan untuk mematikan laptop dan tidur sambil
memeluk buku catatan saya. FYI, selama 3 hari berturut-turut saya selalu tidur
bersama buku-buku, kertas-kertas, alat tulis, tas, laptop, ponsel-ponsel,
headphone, earphone, dan bantal-guling-selimut yang tak beraturan. Namun, aku
menikmatinya.
Salam sukses,
Dewi S Pratiwi